Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sedikit orang tahu tentang
gugusan pulau kecil bernama Enggano yang terletak diperairan Samudera
Hindia. Diduga pulau Enggano pertama kali dijumpai oleh para pelaut
Portugis yang berlayar ke-Asia pada abad ke-16 sehingga tercatat dalam
peta lautan Asia milik Portugis yang dibuat pada tahun 1853.
Nama enggano berasal dari kata engano, terambil dari bahasa Portugis yang berarti kekecewaan. Diceritakan pada tahun 1498 para pelaut Portugis berhasil sampai di Tanjung Pengharapan dan berlabuh di sebuah pulau yang diduga memiliki kekayaan alam berupa cengkeh dan lada. Kegembiraan bercampur rasa suka cita menyelimuti para pelaut Portugis atas keberhasilan yang akan diraih. Setelah berhari-hari menjelajahi pulau mereka tidak menemukan cengkeh maupun lada yang dicari, sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam dan terlontarlah kata engano yang berarti kesalahan/ kecewa.
Pada zaman dahulu masyarakat kepulauan Enggano sangat terisolir, hampir tidak ada sarana komunikasi dan transportasi dari serta menuju ke pulau ini. Hal ini menyebabkan sedikitnya informasi yang bisa ditemukan tentang sejarah Enggano lama dengan segala adat istiadat serta kebudayaan yang berkembang pada waktu itu. Dalam ensiklopedia Winkler Prins dan Beknopte Nederlands Indise Encyclopedi dari T.E. Bezemer terdapat sekilas sejarah tentang masyarakat Enggano yang diceritakan hidup terisolir dan dalam kesehariannya tidak mengenakan pakaian sehingga dinamakan” Pulau Telanjang”.
Keterasingan Enggano pernah menarik perhatian beberapa orang berkebangsaan asing untuk berkunjung dan menetap dikepulauan ini. Tercatat seorang Jerman pernah menetap di Enggano untuk mempelajari bahasa-bahasa yang ada di kepulauan ini dan menurut hasil penelitianya memiliki banyak kesamaan dengan bahasa-bahasa yang ada di kepulauan Lautan Teduh Selatan seperti di kepulaun Hawaii. Kesamaan juga dapat ditemui dari berbagai adat istiadat seperti perahu yang digunakan sehari-hari dan struktur bangunan Kakario (rumah tradisonal penduduk asli pulau Enggano yang berbentuk bulat dengan tiang atas bersegi delapan sampai dengan dua belas, memiliki tinggi mencapai 5 meter terbuat dari kayu besi dan kayu merbau yang banyak terdapat disekitar pulau. Rumah tradisional ini hanya memiliki satu lobang seperti guan yang berfungsi untuk keluar masuk rumah dan dibagian atasnya terdapat sebuah lobang kecil yang berfungsi untuk sirkulasi udara dalam rumah). Selanjutnya seorang Francis yang mengembangkan usaha perkebunan kelapa di pulau Aduwa (pulau dua) untuk diolah menjadi kopra. Namun kendala transportasi yang sangat sulit membuat usahanya tidak berjalan baik dan kemudian ditinggalkan karena dianggap kondisi tersebut sangtlah tidak menguntungkan. Van der Vos seorang berkebangsaan Belanda adalah orang yang mendatangkan hewan kerbau ke Enggano dengan tujuan untuk dikembangbiakan dan usahanya berhasil, namun pecahnya perang dunia ke dua memaksanya harus kembali ke negeri asalnya dan meninggalkan ratusan kerbau di pulau Enggano yang sekarang menjadi kerbau liar dan jinak yang banyak terdapat di pulau tersebut. Tercatat pula pada tahun 1902 para pendeta dari Barmen, Jerman Barat tiba di Enggano yang membawa peradaban baru dengan mendirikan gereja dan sekolah-sekolah serta berupaya memberantas buta huruf di kepulauan Enggano.
Dimasa penjajahan Jepang pulau Enggano menjadi salah satu titik pertahanan yang penting bagi Jepang, namun karena jaraknya yang jauh dari daratan pulau Sumatera sehingga sulit untuk memperoleh suplai alat-alat pertahanan dan juga bahan makanan yang diperlukan Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1948, Jepang terpaksa melepaskan Enggano yang selanjutnya dapat dikuasi oleh tentara Belanda.
Diawal kemerdekaan Indonesia kepulauan Enggano merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Jaraknya yang yang jauh dari daratan pulau Sumatera menyebabkan Enggano luput dari perhatian pemerintah pusat. Pada tanggal 30 Juli 1952 untuk pertama kali pejabat tinggi Republik Indonesia mengunjungi pulau Enggano setelah sekian tahun Indonesia merdeka yakni Gubernur Kepala Daerah Propinsi Otonom Sumatera Selatan Dr. M Isa beserta rombongan yang terdiri dari anggota-anggota DPR, polisi militer, wartawan dan radio. Dari tepi muara sungai Malakoni rombongan disambut Camat setempat dan diiringi oleh gegap gempita nyanyian dari tarian” jahudo” yakni tari perang masyarakat asli suku Enggano. Kunjungan ini mempunyai arti penting bagi masyarakat Enggano pada saat itu setelah sekian lama diabaikan oleh pemerintah dan bagi pemerintah khususnya Gubernur Provinsi Sumatera Selatan kunjungan pertama ke Enggano ini merupakan titik tumpu untuk menentukan arah pengembangan pembangunan di Pulau Enggano kedepan.
Saat ini kepulauan Enggano merupakan bagian dari Provinsi Bengkulu, tepatnya masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bengkulu Utara yakni Kecamatan Enggano dengan enam desa defenitif meliputi desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meo dan desa Banjar Sari. Terdiri dari lima suku asli yakni suku Kaitora, suku Kaarubi, suku Kaahoao, suku Kauno serta suku Kamai’ yang merupakan suku bagi masyarakat pendatang dari luar pulau Enggano. Dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan laut di Malakoni dan Kahyapu diharapkan dapat mengatasi masalah transportasi pulau Enggano sehingga pembanguan dapat berjalan baik guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat di kepulauan Enggano.
Nama enggano berasal dari kata engano, terambil dari bahasa Portugis yang berarti kekecewaan. Diceritakan pada tahun 1498 para pelaut Portugis berhasil sampai di Tanjung Pengharapan dan berlabuh di sebuah pulau yang diduga memiliki kekayaan alam berupa cengkeh dan lada. Kegembiraan bercampur rasa suka cita menyelimuti para pelaut Portugis atas keberhasilan yang akan diraih. Setelah berhari-hari menjelajahi pulau mereka tidak menemukan cengkeh maupun lada yang dicari, sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam dan terlontarlah kata engano yang berarti kesalahan/ kecewa.
Pada zaman dahulu masyarakat kepulauan Enggano sangat terisolir, hampir tidak ada sarana komunikasi dan transportasi dari serta menuju ke pulau ini. Hal ini menyebabkan sedikitnya informasi yang bisa ditemukan tentang sejarah Enggano lama dengan segala adat istiadat serta kebudayaan yang berkembang pada waktu itu. Dalam ensiklopedia Winkler Prins dan Beknopte Nederlands Indise Encyclopedi dari T.E. Bezemer terdapat sekilas sejarah tentang masyarakat Enggano yang diceritakan hidup terisolir dan dalam kesehariannya tidak mengenakan pakaian sehingga dinamakan” Pulau Telanjang”.
Keterasingan Enggano pernah menarik perhatian beberapa orang berkebangsaan asing untuk berkunjung dan menetap dikepulauan ini. Tercatat seorang Jerman pernah menetap di Enggano untuk mempelajari bahasa-bahasa yang ada di kepulauan ini dan menurut hasil penelitianya memiliki banyak kesamaan dengan bahasa-bahasa yang ada di kepulauan Lautan Teduh Selatan seperti di kepulaun Hawaii. Kesamaan juga dapat ditemui dari berbagai adat istiadat seperti perahu yang digunakan sehari-hari dan struktur bangunan Kakario (rumah tradisonal penduduk asli pulau Enggano yang berbentuk bulat dengan tiang atas bersegi delapan sampai dengan dua belas, memiliki tinggi mencapai 5 meter terbuat dari kayu besi dan kayu merbau yang banyak terdapat disekitar pulau. Rumah tradisional ini hanya memiliki satu lobang seperti guan yang berfungsi untuk keluar masuk rumah dan dibagian atasnya terdapat sebuah lobang kecil yang berfungsi untuk sirkulasi udara dalam rumah). Selanjutnya seorang Francis yang mengembangkan usaha perkebunan kelapa di pulau Aduwa (pulau dua) untuk diolah menjadi kopra. Namun kendala transportasi yang sangat sulit membuat usahanya tidak berjalan baik dan kemudian ditinggalkan karena dianggap kondisi tersebut sangtlah tidak menguntungkan. Van der Vos seorang berkebangsaan Belanda adalah orang yang mendatangkan hewan kerbau ke Enggano dengan tujuan untuk dikembangbiakan dan usahanya berhasil, namun pecahnya perang dunia ke dua memaksanya harus kembali ke negeri asalnya dan meninggalkan ratusan kerbau di pulau Enggano yang sekarang menjadi kerbau liar dan jinak yang banyak terdapat di pulau tersebut. Tercatat pula pada tahun 1902 para pendeta dari Barmen, Jerman Barat tiba di Enggano yang membawa peradaban baru dengan mendirikan gereja dan sekolah-sekolah serta berupaya memberantas buta huruf di kepulauan Enggano.
Dimasa penjajahan Jepang pulau Enggano menjadi salah satu titik pertahanan yang penting bagi Jepang, namun karena jaraknya yang jauh dari daratan pulau Sumatera sehingga sulit untuk memperoleh suplai alat-alat pertahanan dan juga bahan makanan yang diperlukan Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1948, Jepang terpaksa melepaskan Enggano yang selanjutnya dapat dikuasi oleh tentara Belanda.
Diawal kemerdekaan Indonesia kepulauan Enggano merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Jaraknya yang yang jauh dari daratan pulau Sumatera menyebabkan Enggano luput dari perhatian pemerintah pusat. Pada tanggal 30 Juli 1952 untuk pertama kali pejabat tinggi Republik Indonesia mengunjungi pulau Enggano setelah sekian tahun Indonesia merdeka yakni Gubernur Kepala Daerah Propinsi Otonom Sumatera Selatan Dr. M Isa beserta rombongan yang terdiri dari anggota-anggota DPR, polisi militer, wartawan dan radio. Dari tepi muara sungai Malakoni rombongan disambut Camat setempat dan diiringi oleh gegap gempita nyanyian dari tarian” jahudo” yakni tari perang masyarakat asli suku Enggano. Kunjungan ini mempunyai arti penting bagi masyarakat Enggano pada saat itu setelah sekian lama diabaikan oleh pemerintah dan bagi pemerintah khususnya Gubernur Provinsi Sumatera Selatan kunjungan pertama ke Enggano ini merupakan titik tumpu untuk menentukan arah pengembangan pembangunan di Pulau Enggano kedepan.
Saat ini kepulauan Enggano merupakan bagian dari Provinsi Bengkulu, tepatnya masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bengkulu Utara yakni Kecamatan Enggano dengan enam desa defenitif meliputi desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meo dan desa Banjar Sari. Terdiri dari lima suku asli yakni suku Kaitora, suku Kaarubi, suku Kaahoao, suku Kauno serta suku Kamai’ yang merupakan suku bagi masyarakat pendatang dari luar pulau Enggano. Dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan laut di Malakoni dan Kahyapu diharapkan dapat mengatasi masalah transportasi pulau Enggano sehingga pembanguan dapat berjalan baik guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat di kepulauan Enggano.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar